Selasa, 18 Februari 2014

Meraih Kebahagiaan

Apakah kebahagiaan itu? Apakah kekayaan, kesuksesan, keindahan fisik berbanding lurus dengan kebahagiaan? Mari kita elaborasi satu-persatu;

Apakah Kekayaan Menjamin Kebahagiaan?

Penelitian Ed Diener, Psikolog dari University of Illinois, menginformasikan kepada kita bahwa dari 100 orang terkaya yang dicatat Forbes hanya sedikit yang mengatakan bahwa mereka bahagia dari rata-rata orang pada umumnya. Sebagian besar mengatakan uang telah membuatnya menderita. Tidak sedikit cerita tentang seorang jutawan yang mewariskan hartanya justru pada orang yang tak dikenalnya. Ini membuktikan bahwa kekayaan justru membuatnya hilang kepercayaan bahkan pada orang-orang terdekatnya. Semua orang dilihatnya hanya ingin berteman karena harta yang ia miliki. Tidak ada ketulusan. 


 Kenaikan pendapatan (uang) membawa serta kenaikan ekspektasi atau keinginan-keinginan baru. Dapat motor, ingin mobil. Dapat mobil, ingin pesawat. Begitu seterusnya. Uang hanyalah alat mencapai tujuan kebahagiaan. Uang bukanlah solution of the problem. Uang bisa saja menjadi part of the problem. Kekayaan tidak dengan sendirinya mendatangkan kebahagiaan, sebagaimana kemiskinan tidak dengan sendirinya mendatangkan penderitaan. Jika kekayaan tidak serta-merta mendatangkan kebahagiaan,

Apakah Kesuksesan Menjamin Kebahagiaan?

Sukses adalah mencapai sesuatu yang kita inginkan. Kenyataannya, kita mengorbankan hal-hal yang sebenarnya substansial dalam kehidupan seperti kasih sayang, persahabatan, keimanan hanya untuk mengejar dan mempertahankan kesuksesan. Apakah sukses menjamin kebahagiaan? Ternyata tidak! Begitu banyak orang yang diakui kesuksesannya, tapi ternyata tidak bahagia. Malahan berujung pada bunuh diri atau narkoba. Hidup bukanlah roda berputar yang mengharuskan ada yang dibawah dan ada yang diatas. Hidup seperti mendaki puncak gunung. Kita bisa sama-sama diatas menikmati indahnya pemandangan. Tapi jika kita lalai, kita bisa jatuh.

     Apakah untuk bahagia kita harus menderita dahulu di dunia. Seperti bunyi pepatah : “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian“. Tidak juga! Orang yang sedang menikmati kesenangan belum tentu bahagia. Bahagia mempunyai pengaruh yang lebih lama dan berkaitan dengan kejiwaan/ruhaniah. Sedangkan senang hanya bersifat sementara dan berkaitan dengan jasmani/tubuh. Bahagia itu dari dalam ke luar, sementara senang dari luar ke dalam. Jika kita hanya mengejar kesenangan duniawi, kita tidak akan pernah mencapai rasa puas, yang ada malah bosan. Karena ukuran kepuasaan makin lama, makin naik. Jika bukan kurang puas, kita lalu bosan. Ketika kita mengejar kesenangan jasmani, kita terus-menerus menerima rangsangan indrawi. Lama-kelamaan rangsangan itu tidak lagi menimbulkan perasaan apapun.

Tujuan Hidup adalah Kebahagiaan!

Socrates berkata : Kebahagiaan adalah puncak dari tujuan terakhir, atau summum bonum. Metodenya seperti ini; mengapa anda kuliah? Karena ingin mendapat pekerjaan. Mengapa anda ingin mendapat pekerjaan? Agar dapat menafkahi keluarga. Mengapa anda ingin menafkahi keluarga? Karena ingin mencintai dan dicintai. Mengapa Anda ingin dicintai dan mencintai? Karena ingin dicintai Tuhan. Mengapa Anda ingin dicintai Tuhan? karena ingin bahagia. Mengapa Anda ingin bahagia?  karena ingin bahagia. Jadi, puncak dari tujuan terakhirnya adalah ingin dicintai Tuhan. Puncak kebahagiaan tertingginya adalah ketika ia dicintai Tuhan. Kecerdasan, kesehatan, kekayaan, cinta keluarga dan sahabat hanyalah anak tangga menuju kebahagiaan hakiki.

Kebahagiaan dalam Perspektif

Ujian itu pasti, penderitaan hanyalah perspektif kita dalam memandang sesuatu. Ada orang yang mendapat ujian seperti kehilangan kedua kaki, tapi tidak memandangnya sebagai suatu penderitaan. Malahan ia bersyukur masih dapat hidup dan tersenyum. Sebaliknya, anugerah itu pasti, kebahagiaan adalah perspektif kita dalam memandang sesuatu. Ada orang yang diberi anugerah mendapat hadiah kipas angin, tapi ia menderita karena tetangganya mendapatkan AC. Jadi, ujian dan anugerah itu pasti ada dan berasal dari sesuatu yang ada diluar kemampuan kita (faktor eksternal). Sementara penderitaan dan kebahagian adalah perspektif kita memandang sesuatu yang terjadi pada kita (faktor internal).

Dalam ajaran budha diajarkan untuk mengikis penderitaan dengan mengurangi keinginan, hasrat atau hawa nafsu untuk mengejar nirvana. Dan meditasi dapat membantunya. Sementara agama yahudi mengajarkan bahwa untuk mencapai kebahagiaan tidak melulu harus menghilangkan keinginan. Cukup mematuhi  10 larangan Tuhan dan taurat. Agama nasrani mengajarkan belas kasih pada para penganutnya. Karena penjahat terjahat sekalipun ingin diperlakukan baik. Maka berbuat baiklah kepada semua orang.

Sementara dalam agama islam kita diwajibkan saling memperingati akan pentingnya meraih kebahagian minimal 10 kali dalam sehari. Perihal tersebut, ada dalam lafazh adzan dan iqamah, Hayya ‘alal falah (marilah meraih kebahagiaan). Dalam Al-Qur’an Tuhan berfirman; “Katakanlah, tidak sama keburukan dan kebaikan, walaupun banyaknya keburukan memesona kamu. Bertakwalah kamu kepada Allah, supaya kamu berbahagia.“ (QS. 5:100). Nabi Muhammad SAW. besabda; “Barang siapa membahagiakan seorang mukmin, ia telah membahagiakan aku. Barang siapa membahagiakan aku, ia telah membahagiakan Allah Swt“.

Agar Kita Berbahagia

Siapa yang tidak ingin kehidupannya bahagia? Itulah tujuan hidup. Di dunia, pun di akhirat kelak. Inilah alasan mengapa banyak manusia menghabiskan uang, tenaga dan waktunya untuk pergi ke psikiater, seminar, liburan, berinteraksi, berorganisasi, ke tempat ibadah atau untuk sekedar curhat. Sekali lagi kebahagiaan adalah kumpulan perspektif. Kumpulan persfektif itu yang membentuk sikap dan mengeras menjadi karakter. Izinkan saya menutup tulisan ini dengan meminta Anda untuk memejamkan mata Anda barang sebentar dan bayangkan orang-orang terkasih dalam hidup Anda yang mungkin saja selama ini telah Anda abaikan. Bayangkalah mereka dengan penuh kasih.

Semoga kita berbahagia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar