Daoed
Joesef pernah berkata bahwa tanah air itu terbagi 3; tanah air riil berupa
geografis, tanah air formil berupa Negara dan tanah air mental berupa
Pancasila. Tanah air yang pertama dan
kedua sangat bergantung pada tanah air mental. Dengan kata lain, wilayah
geografis dan keadaan Negara Indonesia sangat bergantung pada implementasi
Pancasila sebagai nilai yang menjadi dasar Negara. Pada kolom Opini Kompas,
sabtu 10 Mei 2014 kemarin, Joko Widodo (Jokowi) sempat menuliskan solusinya
atas problematika kebangsaan dewasa ini. Solusinya adalah Revolusi Mental.
Pertanyaannya
kemudian apakah memang mental kita sebagai bangsa yang perlu direvolusi? Jika
tidak, lalu apa yang perlu direvolusi atau diperbaiki? Jika iya, berarti
Pancasila sebagai tanah air mental harus membuktikan dirinya sebagai nilai
dasar Negara yang dapat menjawab problematika kebangsaan. Untuk menjawab
pertanyaan ini, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa saja problematika
kebangsaan kita secara garis besarnya dan apa yang menjadi penyebabnya.
Faktor-Faktor
Problematika Kebangsaan
Problematika menurut Martin
Heidegger adalah ketidakcocokan antara das sein (apa yang terjadi) dengan das
sollen (apa yang seharusnya terjadi). Analisis
penulis, berikut adalah sebagian besar faktor yang menyebabkan terjadinya
problematika kebangsaan. Diantaranya;
1) Intoleransi karena
Kedangkalan Spritualitas
Laporan
The Wahid Institute menyebutkan praktek intoleransi sepanjang tahun 2013 yang
dialami kelompok agama minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah, Protestan, Katolik,
dan mereka yang dituduh sesat sebanyak 245 kasus. Hal ini diperparah oleh
gagalnya Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama dibahas dalam program
legislasi nasional di DPR 2010-2014.
2) Defisit
Moral
Setelah maraknya kekerasan terhadap umat beragama
karena berbeda keyakinan hingga berdampak pada intoleransi, problematika bangsa
kemudian ditambah dengan kekerasan secara fisik. Kenyataan itu tercermin dari
maraknya pelecehan seksual, SARA, kejahatan geng motor hingga pembunuhaan
akhir-akhir ini.
3) Disintegrasi
Bangsa
Disintegrasi bangsa adalah upaya untuk memecah belah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang telah susah payah diperjuangkan
oleh para pendiri bangsa berpuluh tahun lamanya. Disintegrasi tersebut kemudian
diorganisasikan secara separatis berupa pemberontakan untuk berpisah dari NKRI
seperti yang pernah dilakukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan sampai sekarang
diupayakan oleh beberapa masyarakat Papua yang menginginkan lepas atau katanya
merdeka dari Indonesia.
4) Krisis
Kepemimpinan (Politik dan Hukum)
Reformasi yang diagung-agungkan sebagai simbol
demokrasi Indonesia demi kepemimpinan yang lebih demoktatis dan menjauh dari
tirani kekuasaan orde baru dan lama ternyata masih berpunggungan antara harapan
dan kenyataannya. Faktanya, sejak era reformasi angka golput justru makin
bertambah. Pemilu 1999 angka golput 10,21%, Pemilu 2004 naik menjadi 23,34%,
dan Pemilu 2009 naik lagi menjadi 29,01%. Bandingkan dengan angka golput pada
pemilu era Orde Lama dan Orde Baru (1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan
1997) yang tak pernah lebih dari 10%.
Untuk Pemilu Presiden dan Pemilu Kepala Daerah, angka
golput juga tinggi. Pilpres 2004 angka golput 21,5%, Pilpres 2009 naik menjadi
23,3% (angka partisipasi pemilih Pilpres 2009 sebesar 72,09%). Angka golput
pemilukada rata-rata 27,9%. Namun, hasil pemilu 2014 yang baru dirilis KPU
baru-baru ini menunjukkan tren positif dengan meningkatnya partisipasi pemilih
menjadi 75,11 %. Itu baru kepemimpinan politik, belum termasuk kepemimpinan
hukum yang masih menyisakan problematika tersendiri yang tak kalah
mencemaskannya. Lihat saja kasus suap hakim, polisi dan jaksa yang berujung
pada tertangkap tangannya hakim Mahkamah Konsitusi; Akil Muchtar.
5) Korupsi
dan Pemiskinan
Berbicara mengenai problem bangsa, akal kita
seakan-akan otomatis berpindah pada apa yang disebut sebagai korupsi.
Penjarahan uang rakyat oleh pejabat pemerintah. Mulai dari menteri, kepala
daerah hingga bank, semuanya tergiur dengan korupsi. Setali tiga uang, korupsi
kemudian melahirkan anak kandung yang bernama pemiskinan. Bukan kemiskinan, tapi
pemiskinan karena jumlahnya yang banyak dan telah menjadi masalah bangsa
turun-temurun dan belum menemui jalan keluarnya. Padahal, jika dikelola dengan
baik, sumber daya alam bangsa kita yang kaya ini tentulah cukup untuk
menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
Mentalitas
Pancasila sebagai Solusi Problematika Bangsa
Dalam buku berjudul Negara
Paripurna yang ditulis oleh Yudi Latif, disebutkan bahwa Pancasila merupakan proses
penggalian secara mendalam dari apa yang ada pada bangsa Indonesia sendiri.
Bukan ikut-ikutan bangsa lain. Maka sekarang, kita dengan bangga menyebut
Indonesia sebagai bangsa yang mandiri dan berdiri pada kaki sendiri. Bukan
bangsa fotokopi. Ideologi murni
Indonesia. Bukan ideologi kapitalis kanan, komunis kiri ataupun Islam.
Pancasila merupakan lima Dasar Negara. Pertanyaan yang timbul kemudian, sejauh
manusia mentalitas pancasila untuk menjawab problematika kebangsaan?
Intoleransi
disebabkan oleh kedangkalan spritualitas. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
meniscayakan kita sebagai bangsa Indonesia untuk menghargai keyakinan orang
lain selama tidak mengganggu keyakinan orang atau kelompok lain. Dengan ego
Tauhid, kita memahami bahwa kita semua adalah makhluk dan berasal dari Diri Yang
Satu; Tuhan. Sementara, defisit moral terjadi karena kita lebih sering
mendahulukan kepentingan diri di atas kepentingan sosial. Kita tidak
memanusiakan manusia. Kita tidak menjalankan apa yang diamanatkan oleh sila
kedua; kemanusiaan yang adil dan beradab (moral/etika).
Sementara
disintegrasi bangsa yang memicu perpecahan NKRI berawal dari paham sempit yang
merasa suku atau daerah lebih unggul ketimbang suku, daerah atau bahkan bangsa
Indonesia. Seandainya kita memahami sejarah, tentulah kita sadar bahwa kita
lahir sebagai bangsa Indonesia atas perjuangan bersama melawan penjajahan yang
kemudian menginspirasi para pejuang bangsa untuk mengikrarkan sila ketiga;
Persatuan Indonesia. Bersatu untuk melawan pengaruh buruk dari pihak luar (Negative
Nasionalism) dan bersatu untuk menawarkan yang baik dari dalam (Positive
Nasionalism).
Adapun krisis
kepemimpinan baik dalam segi hukum
maupun segi politik tentukah menciderai cita-cita luhur demokrasi. Hal ini
terbukti dari kasus suap hakim dan politik uang (Money Politic). Sila keempat
sebenarnya telah menjawab solusi dari masalah ini berpuluh-puluh tahun lalu
dengan mengutamakan musyawarah yang dipimpin oleh ia yang hikmat lagi
bijaksana. Namun, kesejahteraan politik takkan bisa tercapai jika masih ada
perut yang kosong. Dengan kata lain, kesejahteraan politik harus selalu
berbarengan dengan kesejahteraan
ekonomi. Penerapan keadilan secara distributif (proporsional) dan komutatif
(sama rata) kepada seluruh rakyat Indonesia merupakan solusi kelima yang
ditawarkan oleh Pancasila.
Kesadaran
Mental Pancasila adalah Kunci Kesadaran Bernegara dan Berwilayah
Tanah
air mental atau Pancasila adalah kunci untuk meransang kesadaran bernegara dan
berwilayah. Wilayah geografis kita tak ada artinya jika tidak diatur oleh para pejabat
Negara. Sementara pejabat Negara tidak dapat dikatakan Negarawan jika tidak
bermental pancasila. Mental adalah jiwa atau watak dari suatu entitas. Maka,
watak kita sebagai bangsa, tercermin dari sejauh mana kita menerapkan
nilai-nilai yang ada pada Pancasila. Baik dari kelima silanya maupun 45 butir
Pancasila sebagai pedoman praktis dalam berbangsa. Inti dari Pancasila adalah
gotong-royong atau kebersamaan. Menolak mentah-mentah paham individualis. Jadi,
untuk dapat dikatakan berbangsa atau lebih luhurnya berindonesia, milikilah
jiwa yang gotong-royong, jiwa kebersamaan.
Salam
Pancasila!