Baru saja
saya selesai membaca buku yang berjudul Kemudian Kutemukan Hidayah yang
membahas tentang kisah perjalanan spiritual Dr. Muhammad Tijani selaku penulis
buku itu sendiri. Pengalaman spiritual setiap manusia tentu berbeda-beda.
Apalagi berbicara keyakinan individu, pasti sangat partikulir dan rentan akan
nuansa subyektif. Diperlukan kesadaran universal dan obyektivitas akal untuk
dapat memahami. Sekalipun, memahami belum tentu membenarkan. Kita mulai kisahnya;
Seperti yang
kita ketahui, bahwa Mazhab satu ini
sebagaimana Mazhab Sunni sudah masuk ke Nusantara sejak lama. Namun,
mazhab ini masih minoritas dan beberapa
pendapat memandangnya sesat. Bahkan ada yang mengecap bahwa syiah bukan mazhab,
melainkan agama tersendiri yang bukan termasuk Islam. Buku ini memuat kumpulan
mengenai fakta-fakta seputar syiah dan isu-isu yang menjatuhkan Syiah sendiri. Muhammad
Tijani adalah ulama Tunisia. Seorang muslim Ahlu Sunnah wal Jamaah bermazhab
Maliki sebagaimana yang diajarkan oleh Imam Malik bin Anas.
Mesir; Awal
Mula Pergolakan
Dalam perjalanannya beberapa hari di Mesir,
beliau menjadi wakil yang paling muda untuk mempelajari tentang Sejarah Islam
di Mesir dan Arab. Orang-orang Mesir mengagumi beliau karena menghafal
Al-Quran, hadis, dan argumentasinya yang kuat hingga diberi kesempatan untuk
bertemu ulama besar lainnya. Beliau diperlihatkan pula peninggalan Rasulullah
SAW di Mesir.
Pada saat itu Tijani bertemu dengan seseorang
dari Irak yang ingin melanjutkan gelar doktornya. Tijani banyak membicarakan sejarah tentang
Islam, Arab, dan kekalahan Mesir. Tijani terkejut karena cendekiawan asal Irak
ini mengaku sebagai Syiah. Spontan, Tijani langsung berargumen bahwa kaum Syiah
penyembah Ali bin Abi Thalib dan tidak termasuk kaum muslimin. Cendekiawan itu
hanya tersenyum dan mengatakan darimana berasal propaganda semacam itu. Saat itu pula cendekiawan mengajak penulis ke
Irak untuk mengajak beliau dan memberitahu Tijani secara langsung bagaimana
Syiah yang sebenarnya.
Irak; Shalawat
yang Terputus
Pelajaran pertama yang penulis dapatkan dari
keluarga temannya ini adalah ketika penulis berkunjung dianggap seperti keluarganya
sendiri. Di Irak, Tijani diajak berziarah ke Makam Imam Musa Kazhim. Tijani
merasa heran karena tidak mengenalnya. Cendikiawan tersebut lebih heran lagi,
mengapa penulis tidak mengetahui Imam Musa Kazhim. Ia hanya mengatakan
“Subhanallah, kalian saudara-saudara kami dari mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah
telah meninggalkan isi dan berpegang hanya pada kulit”.
Lucu saja, mengapa seseorang membenci terhadap sesuatu
tanpa mengenalnya terlebih dahulu. Tijani tidak mempercayai semua ini karena
dia melihat sendiri bagaimana orang Syiah memperlakukannya dan melihat dengan
kepalanya sendiri sesuatu yang berbeda dari yang mereka katakan. Cendikiawan tadi hanya menyarankan untuk
banyak membaca dan mengkaji lagi serta membandingkan dengan mazhab lainnya. Cendikiawan
itu kemudian memberikan rujukan buku dengan perbandingan semua mazhab.
Penulispun mendapat pengetahuan baru dan tergugah hatinya bahwa shalawat yang
diajarkan oleh Syiah tidak hanya untuk nabi tetapi beserta keluarganya. Sahabat
pernah bertanya kepada Rasulullah bagaimana cara menyampaikan shalawat kepada Nabi.
Nabi hanya berkata jangan sampai mengirimkan shalawat kepadaku dengan shalawat
yang terputus. Yang dimaksud disini adalah shalawat yang hanya ditujukan pada Nabi,
tanpa menyebut keluarga Nabi.
Najaf; Perjumpaan
dengan Ulama Sayyid Muhammad Baqir Sadr
Najaf adalah tempat dimana pintu kota ilmu
yaitu Ali dikuburkan. Di kota ini pula, Tijani bertemu dengan ulama. Tijani
mengajukan pertanyaan dan pandangannya bahwa orang Syiah lebih sesat
dibandingkan orang Yahudi dan Nasrani. Syiah menyembah Ali dan
mengkultuskannya. Mereka menyembah Allah namun memposisikan Ali sama dengan
Muhammad bahkan Syiah percaya bahwa Jibril berkhianat saat menyampaikan amanat
Allah. Ulama tersebut hanya menunduk dan mengangkat kepala sembari berkata “
kami bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan bahwasannya Muhammad adalah
utusan-Nya dan Ali hanyalah hamba-Nya.” Ulama itu kembali menjelaskan lagi
bahwa Al-Quran di sisi kaum Syiah sama dengan Al-Quran di sisi kaum Sunni.
Dalam Al-Qu’ran pula dikatakan Muhammad adalah Rasulullah. Lantas dimana Ali? Darimana
datangnya tuduhan semacam itu? Dan mengenai pengkhianatan oleh Jibril,
bagaimana mungkin usia Muhammad saat itu 40 tahun sementara Ali sekitar 6 atau 7 tahun. Bagaimana mungkin
jibril tidak bisa membedakan Muhammad yang dewasa dan Ali yang masih kecil?
Tuduhan seperti itu hanya datang dari
orang-orang yang ingin memecah belah Islam.
Kaum muslim bersaudara baik Syiah maupun Sunni. Kemudian Tijani bertemu dengan
Sayyid Muhammad Baqir Sadr. Beliau adalah salah seorang marja’ (otoritas hukum)
Syiah yang terkenal di Irak dan mancanegara. Tijani mulai mempercayai Syiah
bahwa mereka menyembah Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Dalam pengantar
buku merekapun selalu ada Allah dan menyanjung Muhammad. Apabila terdengar nama
Muhammad disebut mereka meneriakkan suara dengan keras sambil bershalawat
“allahumma shali ala Muhammad wa ali Muhammad”.
Arab Saudi; Awal
Kajian
Sesampainya di Arab, Tijani menerima paket buku dari Mesir. Mereka
(Syiah) tidak mengingkari janjinya untuk mengirim rujukan seputar Syiah bahkan
tambahan-tambahan lainnya. Pada saat itu pulalah awal kajian. Tijani membaca
buku al-Aqaid al-Imamiyah (akidah Syiah imamah) dan Aslu al Syi’ah wa Ushuluha
yang dimana penulis mendapat pemikiran dan merasa tenang mengenai akidah Syiah.
Tijani juga membaca buku al-Muraja’at (dialog sunnah-syiah) dan yang menarik
perhatian penulis dimana sikap tegas seorang ulama Syiah dalam menjawab
pertanyaan seorang ulama sunni syaikh al-Azhar. Buku yang diberikan sangat
menarik karena memberikan pandangan dan dialog terhadap kedua mazhab yang
berdasarkan asas islam yaitu al-quran dan sunnah yang sahih dan disepakati.
Sahabat
dalam Berbagai Perspektif
Pandangan sahabat dalam perspektif Syiah
terbagi menjadi 3 golongan; Pertama, golongan sahabat baik yang mengenal Allah
dan Rasul-Nya. Yang pengetahuannya sempurna yang tetap setia kepada Rasulullah.
Kedua, golongan sahabat yang memeluk Islam dan mengikuti Rasulullah karena sesuatu,
seperti menginikan sesuatu atau takut pada sesuatu. Ketiga, kelompok munafik
yang hanya ingin mencelakakan Rasulullah SAW. Keluarga Nabi atau Ahlul Bayt adalah
mereka yang dibersihkan dari segala bentuk dosa, suci sesuci-sucinya dan
diwajibkan kaum muslimin untuk mencintai mereka. Dalam pandangan kaum sunni,
mereka tetap menghormati Ahlul Baitnya tetapi tidak menerima adanya klasifikasi
tentang sahabat seperti sebelumnya. Mereka menggangap sahabat adalah makhluk
terbaik setelah wafatnya Rasulullah.
1)
Sahabat dalam perspektif Al-Quran
Dalam Al-Quran memuji sahabat-sahabat yang
setia kepada Nabi. Namun dalam hal ini adalah pertikaian yang terjadi oleh kaum
muslimin dan terkadang diancam dan dicela oleh Al-Quran. Dan sahabat seperti
ini seringkali diperingatkan oleh Rasulullah. Disinilah perbedaan antara Sunnah
yang dimana tetap menghargai para sahabat walaupun berbuat salah serta Syiah
yang mengkritik serta meragukan keadilan mereka.
2)
Sahabat dalam perspektif Rasulullah
Dalam pandangan Rasulullah, kelak setelah
wafatnya beliau akan banyak sahabat yang berpaling darinya dan hanya segelintir
saja yang masih mengikuti ajaran nabi. Rasulullah tidak mengkhawatirkan apabila
sepeninggalannya mereka menyekutukan Allah tetapi Ihwal Duniawi yaitu mengejar
kekayaan dunia semata. Mengumpulkan emas, perak sebanyak-banyaknya dan mudah
tergoda oleh kemewahan dan kenikmatan duniawi.
Mukjizat
Terbesar Manusia; Kebebasan untuk Memilih
Rasulullah pernah bersabda bahwa “wahai
manusia, tekah kutinggalkan pada kalian sesuatu yang jika kalian berpegang padanya
kalian tidak akan terseseat selama-lamanya; Kitab Allah dan Itrah (keturunan)
Ahlul Baytku.” Sebagai manusia yang diciptakan oleh Allah swt dengan kelebihan
memiliki akal tentu saja kita akan terus mencari kebenaran untuk dekat kepada
diri-Nya. Sebagai manusia yang berakal pula kita tidak hanya menerima hal-hal
masuk dalam pikiran kita tanpa ada pembuktian yang jelas. Semoga dalam
ringkasan penulisan ini, bisa membawa teman-teman menuju jalan untuk mendekatkan
diri Tuhan. Salah satu dosa kemanusiaan terbesar adalah memaksakan pilihan kita
pada orang lain. Padahal, Tuhan saja yang paling berhak atas hidup-matinya
manusia memberikan kita pilihan bebas. Akal membuat kita bebas memilih dan
mempertanggungjawabkan pilihan tersebut. Seperti kata Jean Paul Sartre, manusia
dikutuk untuk bebas. Maka manusia yang tidak bebas memilih, bukan termasuk
manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar