Hasil penelitian menginformasikan bahwa
manusia menggunakan waktunya 40 % untuk mendengar, 35 % untuk
berbicara, 16 % untuk membaca dan 9 % untuk menulis. Hasil tersebut
adalah indikator betapa pentingnya kemampuan mendengarkan. Hal ini juga berarti
keterampilan mendengarkan menopang keterampilan-keterampilan lainnya. Ironisnya,
kurikulum pendidikan kita masih abai terhadap keterampilan yang satu ini.
Mendengarkan bukan sekadar mendengar biasa. Mendengarkan adalah memperhatikan secara
serius apa yang dikatakan lawan bicara, termasuk anggota tubuh dan jauh dari
sikap kepura-puraan. Sedangkan mendengar adalah tertangkapnya sebuah
pembicaraan oleh telinga baik disengaja maupun tidak. Biasanya, kita hanya
mendengar, tapi tidak mendengarkan. Persis seperti Adagium inggris; You hear me but you don’t listen to me.
Sebagian besar orang tidak berniat
serius mendengarkan. Sikap mendengarnya hanyalah reaksi logis dan konsekuensi
dari percakapan saja. Akibatnya, yang timbul hanyalah bantahan dan perdebatan
belaka. Kesalahan yang sering dilakukan para pendengar adalah buru-buru
memvonis apa yang dikatakan oleh lawan bicara. Seperti menyanggah : “aku tahu apa yang akan engkau katakan“ ,
atau biasa juga “Engkau akan mengatakan
ini kan?!“. Hal ini menimbulkan kesan tidak baik. Satu-satunya cara
memperoleh manfaat terbaik dari perdebatan adalah menghindarinya, kata Dale
Carnegie.
Lalu bagaimana dengan keterampilan
bangsa kita? Bangsa kita sedang beranjak menuju tahap kedua pendidikan
komunikasi, yakni tahap mendengarkan (Listening
Society). Baru saja ingin melewati tahap pertama, yaitu watching society. Tentu belum sampai
pada tahap ketiga, yaitu Reading society.
Bangsa Kita adalah bangsa yang suka mendengar, terlepas dari apakah ia
mendengarkan atau hanya mendengar saja. Bangsa Amerika atau Jepang telah sampai
pada bangsa yang gemar membaca. Itulah mengapa mereka menjadi bangsa yang maju
dan adikuasa. Kaum perempuan lebih banyak ke konseling ketimbang kaum lelaki.
Karena mereka ingin didengarkan ceritanya. Pun sama, kenakalan remaja juga
disebabkan karena tiadanya teman curhat
atau tempat membagi keluh kesahnya.
Bagaimana agama memandang keterampilan
mendengarkan? Dalam agama Islam misalnya, Khutbah Jum’at adalah latihan
mingguan untuk mendengarkan. Jamaah dilarang menyanggah saat Khatib berceramah.
Kecuali seusai ceramah. Telinga yang baik, disebut dengan istilah udzunun wa’iyyah, artinya
telinga-telinga yang bisa menyimpan dan memelihara (QS. Al-Haqqah : 12).
Dikenal pula telinga yang buruk. Yaitu telinga yang mendengar segala hal
kecuali kebenaran. Telinga mereka hanya digunakan untuk mendengar kata-kata
buruk, umpatan dan gosip (QS. Al-Anbiya : 45). Yang mendengar adalah akal dan
hati, bukanlah telinga. Telinga hanyalah alat luar saja (Aksiden). Kita tidak
mampu mendengarkan karena hati yang enggan. Kita hanya diberi satu mulut dan
dua daun telinga, agar Kita lebih banyak mendengar ketimbang berbicara.
Lakukan ini agar Anda Terampil
Mendengarkan;
1) Mendengarkan
kritikan dan teguran. Karena jika mendengarkan pujian, kita tak
perlu berlatih, kita malah senang mendengarnya.
2) Mendengarkan
orang yang membicarakan dirinya sendiri. Hal ini memang sulit bagi kita,
tapi ini penting bagi proses latihan mendengarkan.
3) Mendengarkan
pembicaraan yang baik dan berilmu, Karena kualitas keilmuan kita, ditentukan
oleh apa yang kita dengar.
4) Menangkap
Inti pembicaraan dengan cara mencatat poin-poin penting saat mendengarkan.
Itulah mengapa pemandu talk show
menggunakan metode note taking untuk
menangkap inti pembicaraan. Meringkas (resume) bertujuan untuk menyimpan
ide-ide pokok pembicaraan dengan rapi dan sistematis agar dilain waktu dapat
dipelajari kembali. Jurnal pendidikan psikologi The Vista mengungkapkan bahwa orang yang mencatat memiliki daya
ingat yang lebih kuat dan tajam ketimbang orang yang hanya mendengarkan saja
tanpa mencatat.
5) Jangan
menebak apa yang akan dikatakan pembicara, terlebih jangan menyela pembicaraan.
Lakukan ini agar Anda Didengarkan;
1) Menjelaskan
tujuan pembicaraan,
2) Aktifkan
pandangan mata,
3) Gunakan
kata yang sopan dan mudah dipahami,
4) Menyebut
nama pendengar sebagai contoh dalam pembahasan,
5) Memulai
pembicaraan dengan fakta atau cerita,
6) Mengulang
kembali pernyataan atau pemikiran si pendengar,
7) Mendorong
pendengar untuk berpartisipasi. mengajukan pertanyaan, misalnya,
8) Menggunakan
tangan sebagai media pelancar pembicaraan.
Dr. Henry Corby, leksikolog dan
antropolog dari Universitas Miami mengemukakan bahwa janin yang berada di dalam
rahim ibu yang berusia enam bulan sudah bisa mendengar dengan jelas. Sekali
lagi, ini adalah bukti sahih akan pentingnya keterampilan mendengarkan. Untuk
menjadi menarik, tertariklah pada orang lain. Antusias dan tuluslah
mendengarkan. Berusaha mencari tahu apa yang menjadi minat orang lain dan
ajukan pertanyaan yang orang lain senang untuk menjawabnya. Semakin banyak kita
berbicara, semakin sulit kita mendengar. Orang yang tak mau mendengarkan, lamban
dalam belajar. Seperti kata Aristoteles; kehilangan satu indera, maka
kehilangan satu pengetahuan.
Mari saling mendengarkan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar