Kamis, 17 April 2014

Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia


Pernahkah Anda berpikir tentang penelitian filsafat? Meneliti sesuatu yang sifatnya non materi. Adapun obyek penelitiannya seperti Alam semesta, manusia bahkan Tuhan yang Ghaib sekalipun. Sebagian dari kita berideologi, berkata, bertindak hingga teraplikasikan dalam gaya hidup tanpa memikirkan untuk apa hal itu ada dan apa manfaatnya untuk diri kita sendiri. Berikut ini adalah subyektivitas penulis dalam meresensi buku Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia yang ditulis oleh Mulyadhi Kartanegara.

Tuhan adalah Segalanya

Kuasa Tuhan ada di mana-mana. Ia tidak dikatakan dalam bilangan. Ia yang “diharuskan” adanya, berbeda dengan makhluk yang hanya “dimungkinkan” adanya. Alam merupakan ciptaan Tuhan pula. Manusia mana yang dapat membuat alam secara terstruktur dan bermanfaat untuk semua makhluk? Manusia mana yang bisa mengatur alam semesta diluar bumi padahal kita ketahui ada unsur berbahaya yang dapat berdampak pada bumi? Apapun yang ada di bumi dan langit semua bergantung kepada Tuhan. Seperti yang dikatakan Dostoyevski; jika tidak ada Tuhan, maka segalanya akan menjadi tidak mungkin.

Memahami Tuhan melalui Akal

Al kindi atau Ibnu Khaldun seorang bapak sosiologi mengatakan bahwa alam hanya aksiden-aksiden dan bersifat sementara maka harus diciptakan secara terus menerus oleh Tuhan. Al Kindi kemudian menyimpulkan, jika alam semesta diciptakan, maka harus ada pencipta. Lainnya halnya dengan pandangan Ibnu Sina yang menyatakan bahwa karena sesuatu yang mungkin ada (makhluk) tidak bisa ada dengan sendirinya. Maka, harus ada suatu wujud yang mandiri yang ada karena diri sendiri (Tuhan) dan memberikan keberadaan kepada sesuatu yang mungin ada (makhluk). Sementara Ibnu Rusyd menyatakan bahwa dengan mengamati alam semesta, akal kita akal menyimpulkan bahwa alam semesta adalah sebuah dari seorang perancang (Tuhan). Kesamaan dari 3 pandangan filsuf muslim tersebut adalah kesepakatan pemikiran meraka yang menyatakan bahwa untuk memahami eksistensi Tuhan dibutuhkan prinsip akal, salah satunya prinsip kausalitas.

Memahami Tuhan melalui Alam Semesta

Positivisme sekuler beranggapan bahwa alam semesta merupakan tempat terakhir & tidak ada sesuatupun diluarnya atau setelahnya. Dalam positivisme, objek penelitian haruslah yang bisa diindrai. Karena Tuhan tak dapat diinderai, maka Tuhan tidak dapat diteliti, tidak dapat diamati dan otomatis tidak memiliki keberadaan. Ini jelas bertentangan dengan Spiritualisme panteistik yang beranggapan bahwa alam semesta merupakan cermin Tuhan yang tidak sempurna. Mereka menyamakan alam dengan Tuhan. Sementara para sufi yang mempelajari tasawuf dengan jelas menegaskan bahwa alam bukanlah Tuhan, melainkan ia adalah salah satu ciptaan, kebesaran, dan kekuasaan Tuhan.

Metode Kajian Filsafat 

Metode Hermeneutik adalah metode yang digunakan agar kita sebagai pembaca mengerti maksud dari naskah/buku yang kita baca. Terkadang kita tidak mengerti jalan cerita yang ditulis oleh penulis karena perbedaan zaman atau cara pandang. Untuk mengatasi permasalahan seperti ini, pemikiran kita harus keluar dari zaman modern menuju zaman klasik. Maksudnya kita memosisikan diri sezaman dengan penulis. Dalam memahami pemikiran penulis kita membutuhkan dua cara; Pertama, bagaimana proses pemikirannya dan yang kedua adalah bagaimana hasil dari kesimpulan pemikirannya. Perkembangan kurikulum terutama filsafat islam juga sangat berguna yaitu agar tidak terjadinya kekeliruan. Namun, hanya beberapa filosof islam saja yang dikenal. Setelah membaca sebuah naskah tentu kita menganalisis hasil bacaan kita. Dalam menganalisis kita dapat membagi menjadi analisis deskriptif dan analisis kritis. Analisis deskriptif meniscayakan tidak adanya pandangan penulis sendiri bahkan hanya sebagai penyambung lidah dari tokoh apa yang ia tulis. Berbeda dengan analisis kritis dimana ia mengkritik tokoh yang ia tulis di akhir naskah, bahkan terkadang menolak pendapat para tokoh yang ia tulis sendiri.

Perkembangan Filsafat Islam
Ilmuwan barat yang meninggalkan epistemologi metafisik semakin “menjauhkan” kita dari hal-hal yang sifatnya metafisik seperti Tuhan. Maka dari itu, ilmuwan muslim dituntut untuk menggabungkan antara pengetahuan metafisik dan epistemologi yang tentu saja sangat jauh berbeda dalam pemikiran barat. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak bagaimana usaha Ibnu Khaldun yang merupakan sosiolog dan filsuf serta Murtadha Muthahhari yang merupakan filsuf Islam kontemporer.
1) Sosiologi Ibnu Khaldun
Ibn Khaldun merupakan seseorang dari kelas menengah dan lahir di Tunis. Ia merupakan bapak sosiologi diakui baik oleh islam maupun barat. Saat masih kecil orang tua beserta guru-gurunya meninggal karena wabah. Ia memasuki dunia pemerintahan dan menderita berkepanjangan. Kemudian menarik diri dan tinggal di sebuah desa. Disinilah ia memulai dan menulis sejarah hidupnya. Kemudian ia menjadi profesor di Mesir dan meninggal di sana. Latar belakang pendidikannya tidak hanya kuat dalam pendidikan agama, melainkan logika, fisika, matematika, metafisika dan lainnya. Ia sangat kritis menanggapi para pendapat filosof dan ilmuwan sebelumnya namun dengan metodologi filosofis. Dalam kajian Ibn Khaldun ia menyampaikan “apa yang ada”, bukan “apa yang seharusnya”. Teori sosiologis yang dianut Ibn Khaldun adalah dengan metode demonstratif yang dibagi dalam empat macam sebab. Yaitu sebab-material, formal, efisien, dan final.
2) Filsafat Muthahhari
Muthahhari banyak belajar kepada Ayatullah Khomeini. Ia juga menghasilkan banyak buku sebelum sepeninggalannya dalam revolusi Islam Iran. Dalam filsafat dan peran ideologinya pada awalnya ia cenderung ke marxisme yang ala kebarat-baratan. Di sisi lain, ia bertentangan pula dengan marxisme. Muthahhari berpandangan bahwa wujud manusia dan alam tidak tetap dan dapat hancur dan sangat bergantung pada satu wujud yang kekal. Pandangannya terhadap alam semesta adalah terdiri dari gabungan antara dunia nyata dan dunia gaib. Pada dunia nyata dalam tataran fisik bersifat terbatas, sedangkan dalam pandangan dunia gaib tidak terbatas. Manusia menurutnya adalah evolusi terakhir dan memiliki derajat lebih tinggi daripada binatang.
Masa Depan Filsafat Islam
Dalam dinamika kehidupan tentu saja kita akan berkembang secara terus menerus. Baik itu diri sendiri, maupun lembaga masyarakat dan Negara. Kita dituntut untuk mengikuti perkembangan zaman, namun tentu saja dengan pandangan islam. Metafisika adalah upaya mengeksplorasi dunia non indrawi. Dimana umat Islam percaya pada hal gaib. Namun, penyampaiannya tidak dengan cara yang sudah-sudah melainkan melalui nalar yang masuk akal. Hal ini menyangkut eksistensi Tuhan salah yang bertentangan dengan beberapa ilmuwan barat yang mengatakan alam ini terjadi secara alamiah tanpa campur tangan Tuhan. Diharapkan bagi para filosof muslim selanjutnya dapat memaparkan paham religius dengan argumen-argumen masuk akal yang menjawab tantangan zaman. 
Pusat pemikiran islam dan filsafatnya memiliki makna ganda, pertama adalah untuk menjawab tantangan filosof barat yang tidak mempercayai hal-hal bersifat non materi. Dan yang kedua adalah untuk mengantisipasi kebutuhan informasi tentang islam di masa depan. Sumber dan metode ilmu adalah mengenai bagaimana cara kita untuk memperoleh ilmu tersebut. Yaitu dengan espistemologi (akal, indra, khayal dan hati). Masa depan islam bertumpu pada filsuf muslim. Masa depan filsuf muslim bertumpu pada etika, akal, dan ilmu, yang merupakan perpaduan sempurna. Takkan ada gunanya seseorang berilmu apabila etikanya buruk. Begitupun sebaliknya, hanya sia-sia belaka. 
Selamat berfilsafat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar